Winona
Masjid itu letaknya hampir di ujung gang. Di sebelahnya ada lapangan rumput dan semak belukar. Bocah-bocah usia SMP memenuhi lapangan itu tiap sore. Mereka main bola, dengan tiang gawang yang sederhana, terbuat dari bilah-bilah kayu yang dipancang di dua sisi lapangan.
Aku berhenti sejenak, menghirup teh kemasan kotak, yang hampir habis, lewat sedotan bengkoknya. Aku suka berhenti sejenak tiap melewati lapangan ini. Entahlah, mungkin karena kehangatan khas yang terdengar saat mereka saling berteriak, dalam bahasa Jawa setempat, satu sama lain. Atau saat mereka tertawa, atau berlari kesenangan setiap bola menggelinding melewati bilah-bilah gawang itu. Kehangatan yang cuma sejenak—sebelum para ibu keluar memanggil mereka pulang—segera begitu dengung adzan menggema dari masjid.
Masjid itu namanya Nurul Ikhlas.
Aku suka setiap mendengar kata ikhlas.
Walaupun terdengarnya sangat abstrak—dan mungkin separuh jamaah masjid ini akan butuh waktu agak lama kalau kutanya bagaimana ikhlas itu. Dan walaupun aku bukan penggemar masjid. Ini pertama kalinya aku datang—setelah satu minggu di kampung ini, setelah kedatanganku yang pertama di masa KKN dulu.
Masjid itu tidak seberapa besar. Dua lantai, namun hanya lantai bawah yang biasa mengakomodir para jamaah di hari-hari biasa. Pilar-pilar berdiri kokoh di pintumasuk yang langsung menghadap kiblat.
Kulepas sandal, masuk, dan kusandarkan tas di dinding. Aku tidak bawa mukena—tapi di pojokan ada rak berisi kitab-kitab Al-Qur'an dan mukena-mukena untuk dipakai umum. Aku juga tidak tahu bagaimana struktur disain masjid ini. Dari sebelah kanan kiblat terdengar suara air—jadi aku keluar kesana lewat pintu samping, menenteng kemasan teh kotak kosong sambil mencari tempat sampah.
Langit masihterang—masih terlalu dini untuk adzan maghrib. Tapi aku belum sholat ashar.
Sudah ada orang disana.
Laki-laki.
Dia membungkuk di depan kran air itu. Kain sarung merah kotak-kotak dinaikkan hingga lutut, baju koko abu-abu tua disingsing hingga siku. Ia sedang melepas peci putihnya, meletakkannya di atas tembok pembatas tempat kran-kran wudhu itu ditanam. Lalu dia menoleh. Padaku.
"Hei...," kurasa dia mengeluarkan suara ini karena terkejut.
"Hei...," aku mengeluarkan suara ini karena refleks membalas.
Sunyi sejenak.
"Tempat wudhu wanita..., please?" desisku kemudian.
Ia menegakkan tubuh. Lalu menguraikan lipatan sarung itu dan berkata padaku, "Lewat depan. Sebelah kiri pintu masuk."
Seperti aku tidak bisa mencari sendiri, orang itu berjalan mendekat, melewatiku, tangan kirinya melambai agar aku mengikuti.
Orang ini mungkin baru duapuluh lima tahun. Intonasi, tekanan suara, dan bahasa Indonesia-nya membuatku tahu dia mungkin bukan penduduk asli, atau tidak menghabiskan seumur hidupnya disini. Mungkin bicara beberapa bahasa. Kulitnya coklat cerah, bersih. Mungkin memang terawat, atau itu adalah efek air wudhu yang sering dibicarakan orang—aku baru tahu kalau itu sungguh-sungguh terjadi. Dan dia wangi. Seperti Rasulullah bila memasuki masjid, kata orang begitu.
Tapi ini Calvin Klein, atau Hugo Boss. Wangi Rasulullah tidak seperti ini, kurasa.
Dia membimbingku melalui pelataran masjid. Melewati beduk, melangkahi lubang-lubang paving yang tidak sempurna, dan batu-batunya yang ditumpuk di pinggir. Tempat wudhu wanita ada di sisi kiri kiblat. Ada tulisan Muslimah dengan tanda panah ke arah sana, yang ditempel di pilar. Aku melewatkan tanda itu tadi.
"Itu," katanya, menunjuk ke arah kran-kran.
"Thanks," ucapku. "Ng—maghribnya jam berapa yah?"
"Setengah enam lewat dikit. Nanti aku muadzin kalo gak ada orang, tenang aja. Di dalam ada buku-buku kalau mau baca sembari nunggu."
"Bukan...,aku belum sholat ashar."
Ada riak kecil di air mukanya—kedua alisnya jadi lebih dekat. Aku nyaris berkata—what?!—kalau dia tidak segera menutupinya dengan senyum. Lalu dia berkata, "Oke," dan berbalik pergi.
Di depan tempat wudhu ada kotak sampah. Kulemparkan kemasan teh kosong itu kesana. Tidak masuk. Tapi suaranya sudah terlanjur membuat orang tadi—entah siapa namanya—menoleh.
Di waktu lain aku mengabaikan benda-benda yang gagal masuk tong sampah seperti ini. Tapi kini aku membungkuk, di bawah pandangan matanya, memungut kotak kecil itu, dan memasukkannya kembali.
Dia tidak berkata apa-apa.
Tapi, aku merasa perlu untuk berbalik kesana, dan mendekat padanya. Kupanggil dia, "Hei," hingga dia berhenti dan menoleh lagi.
"Namamu siapa?"
Itu saja yang ingin kutanyakan. Hanya ingin tahu—tidak masalah kalau dia tidak mau memberitahu. Dan aku sudah siap dengan jawaban-jawaban seperti Azzam, Ikhsan, Rayhan, atau nama-nama Islam yang sejenis itu, saat dia berkata, "Nicolas."
Dia berbalik, kembali menyingsing lengannya. Dia memakai sehelai t-shirt merah dibalik koko itu, ujung lengannya menyelip keluar. Ada garis-garis putih di ujunglengan itu, tertulis Adidas.
***
Nicolas
Aku merasa nyaris yakin pernah bertemu dengan anak itu. Tapi aku tidak ingat dimana.
Entahlah—ada yang membuat dia familiar. Mungkin caranya berdiri di teras masjid, dan memandangku saat aku membungkuk di depan kran wudhu. Atau rok jins biru yangmelambai di bawah lututnya, atau intonasi suaranya saat bertanya, "Tempat wudhu wanita, please...?"
Kurasa intonasi suaranya itu. Nyaring, meskipun dia berusaha memelankannya. Seperti Debbie Gibson saat dia seusia Alicia Sylverstone di video musik Aerosmith. Seperti orang Aceh, atau Melayu, yang sehari-hari kudapati dalam tahun-tahunku di International Islamic University, Kuala Lumpur. Yang pasti bukan mantan santri di pondok.
Atau caranya melipat kaki, bersila di sudut masjid dalam mukena yang ukurannya kebesaran itu,selama aku mondar-mandir menyiapkan mikrofon adzan dan membersihkan sajadah-sajadah dengan sapu lidi. Dia mengambil salah satu kitab Al-Qur'an, membukanya. Tapi dia bukan membacanya dengan khusyuk dan tartil seperti para santri pondok, atauanak-anak perempuan di masjid kampusku. Dia cuma membalik-balik halaman, kurasa membaca terjemahannya, seperti melihat iklan di majalah mingguan.
Dia juga tidak berjilbab.
Mungkin bukan—bukan satu dari anak Indonesia yang kutemui di KL.
Kusingkirkan pikiran itu.
Tidak banyakyang datang ke masjid sore ini. Jamaah sholat maghrib cuma dua baris. Satu shaf laki-laki, satu perempuan. Itu pun tidak penuh sampai ujung. Anak perempuan tadi itu adalah satu di antara empat ibu-ibu di kiri-kanannya. Jadi dia seperlima dari jamaah muslimah masjid.
Dan dia bukan penduduk kampung ini. Belakangan begitu banyak orang asing datang kekampungku. Aku sudah mendengar dari mama tentang proyek bangunan di tanah yang tadinya milik Haji Rasyid, di dekat pantai. Mereka membangun perumahan disana.Tadinya mereka mau beli tanah keluargaku juga. Ayah tidak menjualnya. Tanah itu dari keluarga almarhumah Bunda-ku, istri pertama ayah.
Anak yang pakai rok jins biru itu—dari dalam tasnya mencuat kertas karton putih yang digulung. Kertas karton yang biasa dibawa anak-anak teknik sipil atau arsitektur. She's one of them.
Dia sedang membuka tas itu saat aku membalikkan badan usai zikir, mencondongkan tubuhku untuk menyalami Haji Rasyid. Haji Rasyid bertanya tentang ayah. Kataku ayah sudah membaik, tekanan darahnya mulai kembali normal. Insya Allah kembali sholat di masjid dua-tiga hari lagi.
Tapi ekor mataku mengikuti rok biru itu.
Dia mengeluarkan bolpoin dari dalam tasnya. Kemudian membuka kitab Al-Quran. Kemudian menulis sesuatu disana.
Dia menulis sesuatu disana.
Saat itu juga aku merasa perlu meninggalkan perbincangan-rutin-pasca-sholat untuk berjalan ke pojok tempat anak itu duduk.
"Lagi ngapain?" tanyaku—dia terlonjak.
Lalu mengangkat wajah, memandangku, matanya membelalak.
"Kamu nulis apa?" kuulurkan tangan, menuntut kitab itu dari tangannya.
Masih dengan pandangan terkejut itu dia menyerahkannya—tak ada pilihan, tanpa berkata apa-apa. Lalu ia mundur sedikit, memperbaiki duduk. Mulai membangun pertahanan diri.
Kitab itu terbuka di bagian surat Al-Maidah. Tepatnya, ayat yang tentang Nabi Isa A.S. dan ibundanya Maryam. Di bawah baris-baris terjemahan bahasa Indonesia-nya ada kotak kosong—seperti yang sering ada di kitab Al-Qur'an dengan terjemahan—yang bertulis, CATATAN. Disana dia menulis.
Ini yang diatulis; dalam surat An-Nisaa' disebutkan,orang-orang kafir mengira mereka telah menyalib Isa. Padahal yang mereka salib itu bukan Isa kan? Lalu, panggilan 'Yesus' itu, benarkah beretimologi dari bahasa Ibrani—'Yeesa'?
Pertanyaan-pertanyaandi dalam kotak itu mendiamkanku selama sesaat. Ini pertanyaan tipikal yang dibahas di kuliah usuluddin selama bertahun-tahun. Juga mengingatkanku pada pertanyaan waktu kecil saat mulai mengenal pluralitas agama yang kuajukan pada Bunda—Yesus itu Nabi Isa? Aku juga merasakan ingatanku pada tahun-tahun kuliah terkumpul lagi. Tentang perbandingan Injil dan Al-Qur'an, cerita Judas Iscariot, juga dialog-dialog lintas agama itu.
Kemudian, suara nyaring itu mendesis, "Kukira..., kotak catatan itu fungsinya buat ditulisi. Ya kan? Lagian, tulisanku rapi kok.... But, anyways, sorry."
Begitu kalimat ini selesai dia beringsut mundur. Berdiri, menyambar tasnya kemudian melesat kabur.
Aku tidak sempat menjawab apa-apa.
Lagipula aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Butuh diskusi panjang untuk membahas ini.
Mungkin, dia bahkan tidak minta ini dibahas. Mungkin dia hanya ingin menulis disana—apapun maksudnya itu. Ada orang-orang yang suka menulis seperti itu.
Perbincangan-rutin-pasca-sholat itu masih berlangsung antara bapak-bapak dan ibu-ibu di pintu masjid. Anak itu berusaha menyelinap disana, untuk memungut sandalnya, namun dihambat oleh tata-krama dan kesopanan yang masih berusaha dia pertahankan. Dia jadi kelihatan sangat bingung.
Di kejauhan, jauh di luar masjid, di seberang lapangan, kulihat sebuah Nissan Terrano parkir. Sejumlah temanku ada di dalam sana—Faisal di belakang setir. Ini sabtu malam. Jadwal futsal. Aku keluar masjid lewat pintu samping, menyongsong mereka.
Masing-masing kami punya pacar. Tapi tidak satupun di antara mereka yang peduli malam minggu pada saat semua orang dalam tim berkumpul lengkap seperti ini. Aku sendiri—Rahmi tidak pernah melarangku kemana-mana. Hubungan kami steady, semua orang tahu. Sebenarnya dia sudahdipersiapkan untukku sejak lama. Rahmi tidak suka keluar malam seperti gadis-gadis lain. Saat ini dia mungkin sedang berbincang dengan ibunya, atau menyiapkan makan malam untuk ayahnya, atau sedang mengajari adiknya membaca Qur'an. Tanpa menulisi apa-apa disana.
Lewat pintu samping aku melihat si rok biru itu lagi, melintas. Rambutnya, yang sebagian masih basah oleh air wudhu itu kini terurai lepas.
Aku merasa sangat yakin pernah melihatnya sebelum ini. Dulu, di suatu tempat, entah dimana.
Dari jauh, Faisal mengedipkan lampu kabut. Menyilaukan—berusaha bilang, buruan. Tapi kutahan diriku, dan kusempatkan diri untuk mengikuti langkah-langkah kecil di bawah rok biru itu hingga beberapa meter, dan kupanggil dia.
"Hei."
Dia menoleh. Lalu berhenti. "Iya...?"
Tanyaku, "Siapa namamu?"
Ia menetralkan napasnya sejenak. Matanya masih memancarkan ketegangan peristiwa tulisan di bawah kitab Al-Qur'an tadi, tapi ia berusaha tersenyum.
Lalu dia berkata, "Namaku Nona."
Nona siapa?
Aku tidak pernah dengan kata nona yang merupakan nama orang.
Ya, sudah.
Dia masih berdiri diam—seperti menunggu pertanyaan selanjutnya. Aku tidak punya pertanyaan selanjutnya. Jadi aku berkata, "Oke. Aku Nicolas."
Dia berkata, menghela napas, "Oke."
Kini senyumnya lega. Lalu dia melambai, pergi.
Faisal mengedipkan lampu kabut lagi. Aku berjalan kesana, sambil melepas kancing baju satu per satu dan memperlihatkan kaos merah Liverpool kebangganku. Tanpa menyadari—karena lama setelah itu baru aku sadari—bahwa itu adalah sabtu malam yang kemudian merubah seluruh hidupku.
***
(bersambung)